You are currently viewing Lotek, Salad Tradisional Sunda yang Tak Pernah Kehilangan Cita Rasa
Lotek disajikan dengan bumbu kacang, lontong, dan pelengkap khas

Lotek, Salad Tradisional Sunda yang Tak Pernah Kehilangan Cita Rasa

“Orang bule menyebutnya ‘low-tech salad’. Tapi bagi warga Sunda, inilah warisan rasa yang jauh dari sederhana.”

Jika gado-gado dianggap sebagai salad khas Jakarta, maka lotek adalah jawabannya dari Tanah Sunda. Namun jangan salah, di balik tampilannya yang serupa, lotek menyimpan kompleksitas rasa yang lebih berani—berkat campuran kencur, terasi, dan tempe yang jadi rahasia utamanya.

Fakta Singkat:
- Lokasi: Jawa Barat (khususnya Bandung dan sekitarnya)
- Asal Usul Nama: Diduga dari istilah “low-tech” oleh jurnalis Inggris tahun 1970-an
- Ciri Khas: Bumbu kacang dengan kencur, terasi, tempe
- Penyajian: Dengan nasi/lontong, kerupuk, bawang goreng

Lebih dari Sekadar Sayuran Rebus

Bayangkan sepiring sayur rebus yang tampak sederhana: kangkung, tauge, kol, bayam, dan kacang panjang. Tapi ketika disiram bumbu kacang khas yang ditumbuk bersama kencur dan tempe, rasanya berubah drastis—kaya, gurih, dengan aroma rempah yang menggoda.

Tak hanya menonjolkan rasa, lotek juga menyuguhkan keseimbangan tekstur: renyahnya tauge, lembutnya lontong, gurihnya bawang goreng, dan kriuk dari kerupuk jadi pelengkap yang menyatu harmonis.

Kunci Rahasia: Kencur, Terasi, dan Tempe

Berbeda dari gado-gado yang cenderung manis dan halus, bumbu lotek hadir dengan lapisan rasa yang lebih kompleks. Tambahan kencur menciptakan aroma yang khas, terasi menambah kedalaman umami, dan tempe memberikan sentuhan fermentasi yang unik. Gula merah menjadi penyeimbang, membuat rasa pedas dan asin tak mendominasi.

Racikan ini menjadikan lotek sebagai sajian yang bukan hanya lezat, tetapi juga menggugah nostalgia—terutama bagi masyarakat Sunda yang tumbuh besar bersama piring sederhana ini.

Warisan Kuliner atau Eksperimen Jurnalis?

Satu teori unik soal nama “lotek” menyebutkan bahwa istilah tersebut muncul dari pengucapan “low-tech salad” oleh jurnalis asing yang tengah melancong ke Bandung pada dekade 1970-an. Konon, sang jurnalis kesulitan mencari salad dan akhirnya meracik sendiri dari bahan seadanya. Versi ini memang belum sepenuhnya diverifikasi, namun tercatat dalam Perpustakaan Digital Budaya Indonesia.

Menariknya, seiring waktu, lotek tak hanya bertahan, tapi terus dikembangkan oleh pedagang kaki lima hingga restoran modern, tetap mempertahankan ruh lokal namun siap bersaing dengan makanan kekinian.

Lotek vs Gado-Gado: Mana yang Lebih Unggul?

Pertanyaan ini mungkin hanya bisa dijawab lidah masing-masing. Tapi secara teknis, gado-gado tak menggunakan kencur, terasi, atau tempe dalam bumbunya. Lotek juga cenderung lebih pedas dan aromatik. Jika gado-gado cocok untuk penikmat rasa manis, maka lotek lebih cocok bagi pecinta rempah dan rasa “nendang”.

Isu kuliner lokal seperti ini sejalan dengan semangat menjaga identitas budaya, sebagaimana digaungkan dalam gerakan Sekolah Adiwiyata 2025 Garut yang juga menanamkan nilai-nilai keberlanjutan dari dapur ke rumah.

Penutup: Sepiring Lotek, Sejuta Cerita

Lotek bukan sekadar makanan. Ia adalah potret kebudayaan, memori keluarga, dan bukti bahwa warisan lokal tak kalah kaya dari hidangan internasional. Di tengah gempuran makanan cepat saji, lotek tetap berdiri sebagai sajian yang rendah hati namun penuh makna.

Jika suatu hari Anda berkunjung ke Bandung atau daerah Priangan lainnya, carilah warung kecil di pinggir jalan. Cicipi sepiring lotek panas dengan lontong dan kerupuk. Anda akan tahu bahwa “salad lokal” ini punya keunggulan yang tak bisa dibandingkan dengan salad mana pun di dunia.

Tinggalkan Balasan